Ustaz Muhammad Santoso, Sekretaris MUI Kota Batam |
Pada bulan Rabiul Awal, kelahiran Muhammad yang kemudian membawa pengaruh besar bagi seluruh peradaban di dunia. Seorang bayi dari bangsa Arab yang oleh kakeknya diberi nama Muhammad.
Terpuji di bumi dan tersanjung di langit. Kelahiran nabi inilah yang sering diperingati umat Islam seperti sekarang ini.
Nabi Muhammad diutus Allah untuk menyempurnakan perilaku mulia manusia tatkala manusia sebagai makhluk beradab berada di ambang kehancuran. Sungguh, kelahiran dan terutusnya beliau adalah rahmat bagi alam semesta.
Sebagaimana firman Allah: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya 107). Selain sebagai ekspresi rasa syukur atas kelahiran rasulullah, ada substansi dari peringatan maulid nabi, yakni mengukuhkan komitmen loyalitas kepada beliau.
Pertama, meneguhkan kembali kecintaan kepada Rasulullah SAW. Bagi seorang mukmin (Islam), kecintaan terhadap rasulullah adalah sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari keimanan.
Kecintaan pada utusan Allah ini harus berada di atas segalanya, melebihi kecintaan kepada anak dan istri, harta, kedudukannya, bahkan kecintaannya terhadap dirinya sendiri.
Rasulullah bersabda: “Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih dicintainya daripada orangtua dan anaknya” (HR. Bukhari).
Kedua, meneladani perilaku dan perbuatan mulia rasulullah dalam setiap gerak kehidupan kita Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS. Al Ahzab 21).
Mari kita tanamkan keteladanan rasul ini dalam keseharian kita, mulai hal terkecil hingga paling besar, mulai dari kehidupan duniawi hingga urusan akhirat. Tanamkan juga keteladanan rasul pada putra-putri kita, melalui kisah-kisah sebelum tidur misalnya.
Sehingga anak-anak kita tidak menjadi pemuja dan pengidola figur publik berakhlak rusak yang ditonton melalui acara televisi.
Ketiga, melestarikan ajaran dan misi perjuangan rasulullah dan juga para nabi. Sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir, rasul meninggalkan pesan pada umat yang teramat dicintainya ini.
Beliau bersabda: “Aku tinggalkan pada kalian dua hal, kalian tidak akan tersesat dengannya, yakni kitabullah dan sunnah nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam” (HR. Malik).
Rasul juga mewariskan misi perjuangan kepada generasi penerus beliau, yakni para ulama dari masa ke masa. Mereka, para ulama adalah pewaris para nabi.
Sebagaimana rasulullah bersabda: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia mengambilnya dengan bagian sempurna” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Sebagai umat Islam, selayaknyalah kita menyerahkan kepatuhan dan loyalitas kepada para ulama sebab ulama pewaris rasul dan pelanjut misi beliau.
Kepatuhan dan loyalitas tiada lain merupakan wujud ketaatan pada Allah dan rasul-Nya. Namun, kita layak prihatin, karena kecenderungan yang terjadi akhir-akhir ini, ulama kurang mendapat tempat di mata umat.
Bukan saja diacuhkan, ulama bahkan mulai mendapat hujatan dan hinaan di sana-sini. Naudzu billah min dzalik.
Fenomena ini menjadi salah satu pertanda akhir zaman sebagaimana diprediksikan rasulullah dalam kitab Nashoihul ‘Ibad. Di sana dituliskan sebuah hadis yang memberikan gambaran tentang hal ini.
“Akan datang suatu zaman atas umatku, mereka lari dari ulama dan fuqaha, maka Allah pun menimpakan tiga bentuk cobaan.
Pertama, Allah akan menghilangkan barakah dari penghasilan mereka. Kedua, Allah akan menguasakan mereka di bawah kekuasaan pemimpin yang zalim. Ketiga, mereka akan keluar dari dunia fana dengan tanpa membawa iman”.
Sebagaimana diperingatkan dalam hadis ini, ada tiga konsekuensi yang harus diterima umat jika mereka menjauhi para ulama.
Pertama, Allah akan menghilangkan barakah (kenikmatan) dari penghasilan mereka. Bisa jadi, fenomena dewasa ini, krisis ekonomi yang berkepanjangan adalah salah satu di antara imbas dari sikap menjauhi para ulama.
Mungkin, seseorang memiliki pekerjaan, berpenghasilan, akan tetapi ia jauh dari perasaan cukup, qanaah, dan rasa syukur.
Padahal, masih banyak yang bernasib lebih buruk dan tragis darinya. Hingga yang muncul adalah perasaan egois, memikirkan kesejahteraan diri pribadi tanpa bersedia melihat dan meringankan penderitaan orang lain di sekitarnya.
Kedua, bahwa Allah akan menguasakan umat ini di bawah kekuasaan pemimpin yang zalim, apakah akibat ini telah menimpa kita?
Yang jelas, krisis politik dan krisis kepercayaan terhadap para pemimpin negeri ini selayaknya menjadi bahan renungan. Sebab kenyataannya, banyak konflik horisontal yang sering melanda bangsa ini bermula persoalan sepele.
Ketiga, meninggalkan dunia fana tanpa membawa iman, naudzu billah min dzalik. Inilah akibat paling fatal yang harus dikhawatirkan.
Selanjutnya, ada beberapa bentuk tindakan menjauhkan diri dari ulama. Kebencian, penghinaan hingga hujatan adalah bentuk terburuk. Ibnu Hajar al Haytami melalui karyanya Az Zawajir menggolongkan sikap penghinaan sebagai dosa besar.
Dinukilkan dari hadis yang memperkuat pendapatnya ini, rasulullah bersabda: “Tiga golongan ini tidak akan diremehkan kecuali oleh orang munafik, yakni orang tua yang telah lama memeluk Islam, orang yang berilmu (ulama) dan pemimpin yang adil” (HR. Thabrani).
Bentuk lain dari menjauhi ulama adalah keengganan memperdalam pengetahuan agama. Hal ini sama juga dengan acuh terhadap keberadaan umat Islam. Ulama adalah pilar pokok tegaknya agama, di samping pilar lainnya.
Jika dari masa ke masa, satu per satu ulama wafat, sementara penggantinya belum muncul, bukan tidak mungkin, suatu saat nanti tak ada seorangpun di antara umat Islam yang tahu tentang kewajiban dan larangan dalam agama.
Hingga pada akhirnya, umat mendaulat seorang yang awam akan pengetahuan agama. Dia akan berfatwa tanpa berdasar pengetahuan, sesat dan menyesatkan. Persis seperti makna dan tafsiran hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut ini:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu begitu saja dari diri seorang manusia, akan tetapi dengan mencabut nyawa ulama. Hingga saat tidak tersisa seorang ulama pun, manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya, dia ditanyai, lalu berfatwa tanpa berdasar ilmu, dia sendiri sesat lagi menyesatkan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Salah satu solusi pemecahan krisis multidimensi bangsa ini adalah kembali kepada ajaran tauhid dan syariat. Kembali kepada ulama pewaris rasulullah, para ulama pengamal ilmu, dan pengabdi umat.
Kita lestarikan misi dan ajaran mereka melalui regenerasi dan kancah tafaqquh fid din yang mereka asuh. Semoga, krisis yang menimpa bangsa ini segera menemukan titik akhir. Wallahu alam.
Post a Comment