BREAKING NEWS

Thursday, 10 July 2014

Politik Primordial Merupakan Dosa

Ustaz Abdul Razak Muhibuddin
Insya Allah kita secara bersama-sama menunaikan tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu menyalurkan aspirasi politik kita melalui pemilihan umum (pemilu).

Bila melihat pemilu sebagai sarana pelimpahan mandat rakyat kepada siapa saja pemimpin yang terpilih, maka pemilu merupakan sesuatu yang prinsipil dalam tataran kemanusiaan dan kepentingan agama.

Memilih pemimpin dalam Islam adalah wajib bagi umat Islam. Lantaran pentingnya pemimpin bagi umat Islam, maka Nabi Muhammad dalam sabdanya menyebut bahwa kewajiban itu telah ada dalam tiga orang Islam.

“Tidak halal bagi tiga orang yang bepergian melainkan diangkatnya seorang di antaranya menjadi pemimpin,” demikian salah satu hadis Nabi Muhammad.

Konon dalam tiga orang saja sudah dituntut adanya kepemimpinan, apalagi kalau sudah lebih daripada itu. Maka dalam rumah tangga ada pemimpin, dalam RT, RW dan seterusnya tentu lebih tertuntut adanya pemimpin.

Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa 100 tahun berada dalam kepemimpinan zalim lebih baik dari pada satu hari saja tidak ada pemimpin.

Al Mawardi dalam Al Ahkamus Sulthaniyah wal Wilayatusy Syariyyah menyebut bahwa pemimpin memegang perannya sebagai pengganti kenabian.

Semua yang datang dari nabi maupun para ulama ini akan mengerucut pada substansi masalah, bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang teramat penting.

Peran seorang pemimpin sebagai pengganti kenabian bisa dimaknai bahwa pada pemimpin itu terletak keselarasan urusan manusia dan urusan Allah.

Urusan manusia dalam hal ini adalah bagaimana seorang pemimpin meletakkan dasar-dasar keadilan dan penegakan hukum, memenej urusan ekonomi, dan kesejahteraan sosial, kestabilan politik, pelestarian alam, dan perlindungan satwa.

Adapun urusan yang berhubungan dengan Allah bagi seorang pemimpin adalah mengawal penerapan hukum-hukum Allah (hukum syariat), mengorganisir dakwah dan jihad, serta amar makruf nahi mungkar.

Untuk kepentingan seperti ini, maka umat Islam hendaklah berhati-hati memilih pemimpin dan lebih selektif membuat penilaian yang tepat pada sosok seorang pemimpin yang bisa membawa masyarakat ke arah tujuan politik Islam seperti yang kita paparkan ini.

Bila tersalah langkah dan salah pilih maka akan berakibat fatal dalam proses bina’ul ummah, bahkan akan membawa pada dosa sedangkan dosa itu sendiri akan bermuara pada keburukan di dunia maupun di akhirat.

Keburukan di dunia akibat salah memilih pemimpin bisa saja terjadi kezaliman di mana-mana, keadilan susah didapatkan, penipuan, kecurangan, korupsi, meningkatnya grafik kriminalitas, dan sebagainya.

Sementara keburukan di akhirat akibat salah memilih pemimpin bahwa bisa saja kita termasuk yang ikut andil dengan kezaliman pemimpin itu, dan ikut andil dalam kecurangan pemimpin itu.

Dalam bahasan Islam ikut andil disebut “syubhat” dimana orang yang bersubhat dengan sebuah dosa maka dosalah ia. Naudzubillah.

Kajian kita pada kesempatan ini sengaja memaparkan permasalahan ini bahwa bisa saja di antara kita yang masih latah memilih pemimpin, tidak punya pegangan dan tidak punya prinsip hidup, tidak paham tentang ajaran agama, apalagi masih diliputi oleh pamrih duniawi.

Pandangan politik seperti ini tidak ubahnya dengan judul di atas bahwa politik primordial adalah dosa. Politik primordial adalah politik yang dilandasi oleh semangat kesukuan, kedaerahan, kekeluargaan, dan kepamrihan pada keuntungan duniawi.

Orang yang telah dihinggapi sindrom politik primordial selalu menonjolkan semangat kedaerahan, semangat kesukuan, kekeluargaan, dan segala kepamrihan untuk mendapatkan keuntungan duniawi.

Baik berupa uang dan segala yang bernilai komersil, juga bisa berupa pangkat dan jabatan atau posisi tertentu yang menjadi targetnya.

Demi tujuan tersebut maka digerakannya semangat kesukuan atau kedaerahan. Lebih baik pilih kita punya orang dari pada orang lain.

Atau dia itu dari suku kita maka lebih baik kita pilih dia jangan pilih orang dari suku lain. Atau kalau kita pilih dia maka dia akan memberikan kita duit sekian-sekian.

Pandangan politik yang tendensius pada kesukuan, kedaerahan seperti ini dan kepamrihan lainnya sangat dicegah oleh Islam. Rasulullah dalam sebuah sabdanya mengatakan bahwa:

“Barangsiapa yang meniupkan semangat kesukuan (ta’sub ahsabiyah) maka apabila dia mati maka matinya dalam keadaan jahiliyah.”

Bahkan hal-hal yang mengarah pada semangat kesukuan juga dicegah sejak awal. Misalnya ada yang berkata, “kita harus membesarkan suku kita supaya suku kita menjadi terhormat” dan kata-kata yang semakna dengan itu sudah termasuk dalam semangat ashabiyah yang dicegah oleh Islam.

Apabila Islam membiarkan semangat seperti ini terus terjadi, maka iklim perbedaan itu sudah dimulai yang seterusnya akan menimbulkan gesekan dalam masyarakat.

Yang satu berusaha menonjolkan kedaerahan dan kesukuannya, yang lain juga berusaha menonjolkan sukunya, akhirnya lambat laun akan terjadi chaos dalam masyarakat lantaran masing-masing telah dibangun semangat perbedaan seperti itu.

Maka Islam menghapus segala pemahaman yang menghidupkan semangat kesukuan. Islam justru menggalakan semangat keislaman kepada semua orang yang berbeda latar belakang suku bangsa, bahasa, adat dan budaya yang berbeda, karena Islam telah mengikat mereka dalam satu-kesatuan dengan kalimat tauhid.

“Laa ilaaha illallaah Muhammadar rasuulullaah”. Islam telah menghapus berbagai perbedaan mereka dan sekarang mereka hanya terfokus untuk memperjuangkan Islam, meninggikan Islam dan membesarkan Islam.

Adapun dalam urusan kepemimpinan, Islam menghendaki agar semua orang yang berbeda latar belakangnya itu hendaklah memilih pemimpin berdasarkan keimanan dan ketakwaannya.

Bila iman dan takwa menjadi parameternya maka seperti apapun warna kulitnya tidak menjadi ukuran.

Cantik atau jelek juga tidak menjadi ukuran, justru yang cantik dan ganteng tapi dia adalah orang yang fajir yang durhaka kepada Allah maka dia tidak layak dijadikan sebagai pemimpin.

Sebaliknya yang hitam kulitnya dan jelek paras rupanya tetapi dia adalah orang beriman dan bertakwa maka layaklah dia dijadikan pemimpin. Hal ini tercantum dalam QS. AT Taubah ayat 23 yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memilih bapak-bapakmu dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin apabila mereka lebih mencintai (mengutamakan) kekafiran dari pada keimanan. Barang siapa yang memilih mereka maka mereka itu adalah orang-orang zalim”.

Ayat di atas sangat jelas bahwa walaupun orang-orang dekat kita dari bapak-bapak kita dan keluarga kita tidak layak dijadikan atau dilarang dipilih menjadi pemimpin apabila mereka lebih mengutamakan kekafiran dari pada keimanan.

Tetapi apabila ada diantara keluarga kita yang memang keimanannya lebih baik dari pada yang lain justru boleh diangkat menjadi pemimpin. Yang salah apabila bukan keimanan yang menjadi ukuran malah selain dari itu.

Misalnya sebagaimana yang menonjol saat ini siapa saja yang punya duit, asal dikasih itulah yang dipilih. Cara pemilihan dengan perantaraan duit seperti ini justru dilarang dalam Islam.

Praktik seperti ini juga disebut sebagai sogok-menyogok atau suap menyuap yang disebut oleh nabi dalam sabdanya: “penyuap dan yang disuap kedua-duanya dalam neraka”.

Dalam sabda yang lain beliau mengatakan bahwa di antara orang yang tidak dipandang oleh Allah di akhirat, tidak berbicara dan tidak menyucikan mereka di akhirat adalah orang yang memilih pemimpin dengan tujuan untuk mendapatkan harta benda, uang, dan jabatan.

Singkat kata orang yang memilih pemimpin karena ada kepamrihan pada mata benda duniawi kelak di akhirat dia tidak dipandang oleh Allah.

Dalam tafsirnya, Hamka menulis bahwa ketika di dunia saja apabila ada pemimpin yang tidak sudi melihat kita (membuang muka) ketika kita datang, sudah terasa resah dan gelisahnya hati, tidak enak dalam pembawaan kita, duduk terasa seperti ada duri, berdiri seperti pincang kaki, mau menjamah makanan terasa hampa.

Bisa dibandingkan bagaimana apabila kelak nanti kita tidak dipandang oleh Allah? Semua itu akibat dari cara kita yang terpagut oleh rayuan politik primordial. Semoga selamatlah kita di dunia dan di akhirat.

Post a Comment

 
Copyright © 2008 Masjid Raya Batam | Supported by: Ini Bukan Sembarang Bekam