Ustaz Achmad Ridho Amir (kiri) Imam Masjid Raya Batam |
Semuanya meninggalkan keluarga, harta benda, anak, istri, dan orang-orang yang mereka cintai, demi memenuhi panggilan Allah, untuk menjalankan ibadah haji.
Semuanya sama derajatnya di sisi Allah, sebagai hamba Allah semata, tanpa membedakan kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, warna kulit, suku bangsa maupun asal masing-masing.
Semuanya berlomba-lomba ingin menjadi haji yang mabrur, menjadi hamba Allah yang taat dan memperoleh kedudukan yang mulia di sisi Allah. Ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil pada momen ibadah haji ini.
Idul Adha identik dengan Idul Qurban, tapi qurban yang dimaksudkan bukan sekedar menyembelih hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerima.
Qurban yang dimaksudkan adalah melaksanakan pengorbanan hakiki, yakni mengorbankan sebagian yang kita miliki dan cintai, baik harta benda maupun penghormatan untuk dibagikan kepada orang yang lebih membutuhkan.
Hal itu dilakukan semata-mata untuk melaksanakan ta’abbudilallah, yakni mengabdi kepada Allah dalam rangka memperingati dan mengenang pengorbanan besar yang dilakukan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam beserta keluarganya.
Pengorbanan tidak hanya bisa dijadikan pelajaran dalam hidup saja, namun juga mampu meningkatkan taraf kehidupan kita, baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Pengorbanan yang mampu mengangkat hasrat kemanusian, meningkatkan kapasitas hidup dan kemampuan pribadi, menjadi orang mulia, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Rabbul Izzah.
Demikian itu yang pernah dilakukan dan didapatkan Nabi Ibrahim beserta keluarganya. Peristiwa pengorbanan besar tersebut dimulai ketika Ibrahim dengan tulus ikhlas dan rida melaksanakan perintah Allah yang “tidak logis”.
Yaitu seorang ayah atas isyarat mimpi harus menyembelih satu-satunya putra tercintanya. Perintah Allah tersebut berawal dari bisikan yang mengusik tidur Abal Anbiya’ Ibrahim.
Allah memberikan wahyu lewat ru’yah shodiqoh kepada nabi-Nya agar menyembelih putra semata wayangnya yang bernama Ismail. Ketika Ibrahim terjaga dari tidurnya, ia mengira apa yang mengganggu tidurnya hanyalah bisikan setan.
Sebab sangat tidak mungkin Allah yang Maha Penyayang dan Pengasih memerintahkan untuk menyembelih putra yang telah lama dinantikannya tersebut.
Namun demikian, Nabi Ibrahim mencoba merespon perintah Allah tersebut dengan akalnya. Namun kemudian dia menampik perintah tersebut lantaran tidak bisa diterima dengan logika.
Akan tetapi ketika Allah kembali mengusiknya dengan mimpi yang sama sampai tiga kali, Nabi Ibrahim khalilullah ini mencampakkan akalnya dan menerima perintah Allah dengan hati dan imannya secara taabbudan ilallah, yakni sebagai wujud ketundukan dan kepatuhan kepada Allah.
Peristiwa tersebut diabadikan Allah Ta’ala dalam firman-Nya berbentuk dialog antara seorang ayah dan anak:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu: Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash Shofat: 102).
Subhanallah, di hadapan kematian dengan pedang di tangan ayahnya sendiri seorang anak dengan tulus berkata:
“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Di hadapan anak tercinta yang sedang berbaring lemas dipangkuannya dan menyiapkan lehernya untuk disembelih oleh tangannya sendiri, apa yang bisa kita lakukan?
Seorang bapak mampu melakukan hal itu semata-mata karena melaksanakan perintah Allah yang hanya diterima melalui mimpi.
Siapakah yang sanggup melakuan pekerjaan yang tidak logis itu selain para kekasih-Mu, selain orang-orang yang mata hatinya cemerlang karena telah diterangi nur ma’rifat kepada-Mu?
Sehingga mampu menerima perintah dengan cara tidak logis dan sekaligus melaksanakannya meski harus melakukan pekerjaan yang tidak logis.
Maka pantas mereka berdua kemudian mendapatkan penghormatan abadi dan ridha-Mu, bahkan menjadi lambang pengorbanan dan perjuangan hidup sepanjang zaman. Sehingga dikala dengan sabar dan penuh keikhlasan Nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah tersebut, Allah pun bangga kepadanya.
Sedetik sebelum mata pedang yang sudah diasah tajam itu menyentuh leher anak yang sudah terpejam matanya, dengan kuasa-Nya Allah mengganti tubuh anak tersebut dengan seekor kambing kibas dari surga.
Sebuah indikasi dan pelajaran yang amat berharga bahwa apabila orang bisa bersabar dalam menghadapi ujian dan musibah, rida, dan ikhlas dalam menjalaninya meski nyawa taruhannya, maka bukan saja akan mendapat pahala, namun juga Allah akan memberikan ganti yang lebih baik dan sempurna.
Bahkan tidak hanya itu saja, pengorbanan besar yang dilakukan dua manusia mulia tersebut ternyata tidak sia-sia, tidak hilang begitu saja ditelan zaman.
Tetapi terbukti telah menjadi pondasi yang kokoh kuat atas bangunan Kota Makkah al Mukarramah dan keberkahan Allah yang dicurahkan di atasnya sampai saat sekarang.
Selain itu, dari Nabi Ibrahim lahirlah para nabi-nabi, para shalihin, para hamba Allah yang mulia di dunia dan akhirat.
Di samping hal penting tersebut, ibadah qurban juga mengandung pesan kepada kita agar memiliki jiwa sosial dan peka terhadap penderitaan sesama serta pembangunan mental spiritual yang tangguh.
Ungkapan rasa syukur atas segala anugerah yang diwujudkan dengan menasarufkan (membagikan) sebagian harta yang kita miliki.
Caranya dengan membeli dan menyembelih hewan qurban kemudian pendistribusian dagingnya diberikan kepada kalangan fuqara wal masaakin agar di hari raya ini, mereka dapat menikmati kegembiraan yang sama.
Di samping itu, cara ini merupakan simbol agar kita bersedia berbagi kepada sesama dan ikut meringankan beban hidup orang lain.
Dengan ini akan membangun kekuatan persaudaraan antara sesama umat, juga menguatkan jiwa kita secara pribadi dalam menghadapi tantangan dan kompetisi hidup yang rasanya seakan tiada berkesudahan.
Peristiwa Idul Qurban telah dicatat dalam sejarah kemanusiaan dan bahkan harus diperingati oleh setiap pribadi muslim pada setiap tahunnya.
Kita semua diwajibkan melaksanakan Ibadah Haji bagi yang mampu yang salah satu tujuannya untuk memeringati peristiwa sejarah tersebut.
Ini terbukti dengan manasik haji yang dilakukan dalam ritual haji oleh jemaah yang sedang melaksanakan ibadah haji di Makkah Al Mukarramah.
Sekarang kita harus menanyakan kepada diri sendiri? Pengorbanan apa yang sudah kita lakukan selama ini untuk kejayaan kita, keluarga, mencapai peningkatan tarap hidup yang kita inginkan dan dambakan selama ini?
Pengorbanan seperti apa yang sudah diberikan untuk kebahagiaan kita dan anak cucu kita, masyarakat di lingkungan kita demi kemuliaan hakiki baik di dunia serta di akhirat kelak? Wallahu ‘alamu bishawab.
Post a Comment